Pewarta. TV, Pacitan – Rayakan Hari Jadi ke-280, Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji, meluncurkan buku Penelusuran Sejarah Pacitan di Pendopo Mas Tumenggung Djogokarjo.
Peluncuran buku ini mengungkap sejarah panjang daerah Pacitan yang ternyata telah berdiri sejak zaman Mataram Kuno dan Majapahit.
Hasil penelusuran sejarah Pacitan menemukan bukti-bukti prasasti sejak zaman Mataram Kuno. Bahkan, ada bukti lain bahwa Pacitan sudah ada pada zaman Kerajaan Majapahit yang disebut Watukara, berupa sebuah perdikan yang menjadi tempat latihan prajurit di pesisir selatan.
Bupati Indrata Nur Bayuaji menjelaskan bahwa Pacitan berasal dari kata “Cit” yang berarti tempat yang jauh dan sulit, sehingga menjadi tempat pengasingan atau persembunyian.
Namun, seiring berjalannya waktu, Pacitan justru menjadi tempat untuk menggembleng prajurit sebelum maju di medan perang.
Sejarah Pacitan terus berlanjut hingga zaman Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, dan Surakarta Hadiningrat.
Meskipun demikian, berdirinya Kabupaten Pacitan secara resmi ditetapkan pada tanggal 19 Februari 1745, saat Tumenggung Notopuro menerima pengukuhan menjadi Adipati di Rejoso Pacitan dari Sultan Bintoro II atau Paku Buwono I.
“Meskipun ditemukan bukti-bukti baru mengenai sejarah Pacitan, berdirinya Kabupaten Pacitan tetap berawal dari ketika Tumenggung Notopuro menerima pengukuhan menjadi Adipati di Rejoso Pacitan dari Sultan Bintoro II atau Paku Buwono I pada tanggal 19 Februari 1745, dengan disimbolkan ‘Tata Pramana Hargeng Praja. ” Jelas Bupati, Senin (17/02/2025).
Bupati Indrata Nur Bayuaji menambahkan buku sejarah ini bisa menjadi acuan bagi masyarakat Pacitan.
“Semoga buku sejarah Pacitan ini menjadi acuan dan referensi bagi para pecinta budaya, para pembaca, dan siapa pun yang merasa memiliki Pacitan.” Imbuhnya
Peluncuran buku penelusuran sejarah ini menjadi momen penting bagi masyarakat Pacitan untuk lebih mengenal dan menghargai sejarah daerahnya.
Di akhir sambutan, Bupati juga mengutip pesan dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, “melu handarbeni wajib hangrungkebi,” yang berarti ikut memiliki wajib merawat.(ton)